Kamis, 18 Februari 2016

Sastra Indonesia Angkatan 50 – 60an

Setelah kami sudah bahas dari awal pergerakan sastra Indonesia yang diawali dari angkatan Balai Pustaka, terus Pujangga Baru, terus Angkatan 45, nah, sekarang kita masuk ke Angkatan 50-60an. Kenapa sih kami bahas buku-buku yang dicari aja udah susah? Karena orang-orang lain udah banyak yang ngelupain buku-buku ini, makanya kita harus melawan arus mainstream! Kudeta!! (biar enggak nyambung yang penting orasi dulu)

Sastra Angkatan 50-60an ditandai dengan adanya majalah sastra Kisah yang dipimpin oleh H. B. Jassin, yang sering disebut sebagai Paul Sastra Indonesia. Hasil kerja kerasnya masih bisa kita nikmatin sampe sekarang. Kamu bisa ke daerah Cikini, cari deh Pusat Dokumentasi Sastra milik H.B. Jassin. Di tempat ini kamu bisa liat rekam sejarah sastra Indonesia. Balik lagi ke soal sastra angkatan 50-an, muncul juga nih gerakan komunis di kalangan sastrawan. Aktif banget ya sastrawan-sastrawan era ini.Kalau kamu pernah dengar LEKRA (Lembaga Kebudajaan Rakjat), nah ini nih tempat kumpulnya sastrawan-sastrawan yang mengusung konsep sastra realisme-sosialis. Beraaaatttt. Kami juga kurang paham maksudnya apa, tapi yang pasti mereka bekerja khusus di bidang kebudayaan, kesenian, dan ilmu pengetahuan/ Nah karena adanya kubu-kubuan gini, pergerakan sastranya sendiri jadi mandeg karena penulis-penulisnya malah masuk ke kancah politik praktis. Puncaknya di tahun 1965, pas G30S meledak. Karena keliatan banget mana yang pro-komunis dan anti-komunis. Duh..

Oke sekarang kita bahas karya-karya sastra apa aja yang muncul di era ini.

  1. Gadis Pantai – Pramoedya Ananta Toer
Novel ini adalah salah satu dari banyak karya Pramoedya, terbit di tahun 1965. Ceritanya tentang wanita yang lahir di sebuah kampung nelayan di pantai utara Jawa. Kalau di pantai selatan kayanya judulnya jadi Nyi Roro Kidul. Gadis Pantai ini dinikahin sama salah seorang pembesar gitu, asal Bima, namanya Bendoro. Saking berkuasanya dia, sampe enggak mau dateng ke pernikahannya sendiri dan cuma diwarisin oleh sebilah keris. Dikiranya nikah apaan ya sama ini orang. Bisa-bisanya cuma nyuruh keris buat ngewakilin. Setelah menikah, Gadis Pantai tadinya maunya tetep tinggal di kampungnya. Tapi orang tuanya nyuruh dia buat tinggal di kota, di rumahnya Bendoro. Akhirnya Gadis Pantai nurut dan tinggal di sana. Sedihnya, di sana dia cuma tinggal sama pembantu-pembantunya. Bendoro sendiri jarang juga dateng ke rumah itu. Macam ada status tapi enggak ada hubungan gitu (mewakili teriakan banyak korban persoalan hati). Sampe akhirnya Gadis Pantai tau kalau Bendoro mau nikah lagi sama orang yang status sosial dan ekonominya sama dengan dia. Pas Gadis Pantai ngelawan karena enggak mau dimadu (dangdut banget ya bahasa ‘dimadu’), dia malah diusir dan anak perempuannya dengan Bendoro enggak dibolehin buat ikut dibawa. Kasihan ya. Tapi emang ini yang terjadi pas masa itu. Apalagi di tahun 1920-an, orang-orang yang dari status sosial dan ekonomi yang lebih rendah sering banget enggak diperlakukan dengan manusiawi. Pramoedya ngejelasin hal ini dengan detail banget lewat novel Gadis Pantai. Nah, buat kamu yang masih suka ngerendahin orang cuma karena status sosial dan ekonominya, boleh langsung pergi ke masa lalu.

  1. Dua Dunia – N.H Dini
Setelah selama ini, dari mulai tahun 1920an, pas era Balai Pustaka sampai era ’45 selalu didominasi oleh kaum pria, akhirnya di angkatan ini muncul juga sastrawati. Kalau kamu heran kenapa nama N.H. Dini sering banget disebut-sebut di ujian Bahasa Indonesia, ya ini penyebabnya. Akhirnya ada juga penulis wanita diantara dominasi kaum pria. Buku dia yang terkenal di tahun 1950-an adalah Dua Dunia, Buku ini berisikan kumpulan cerita pendek yang ditulis ketika dia masih duduk di bangku SMA, yang salah satunya berjudul Dua Dunia. Ceritanya tentang perjuangan Iswanti, seorang janda muda satu anak yang harus berjuang mencari nafkah dan mempertahankan anak satu-satunya, Kanti, agar enggak direbut oleh mantan suaminya Darwo. Penderitaan Iswanti sebenernya udah dari awal karena dia dipaksa menikah oleh Darwo yang ternyata di kemudian hari, di depan matanya, selingkuh sama cewek lain. Tapi menurut orang-orang sekitarnya, termasuk ibu mertuanya, hal itu adalah kesalahan Iswanti, karena mereka masih menganut paham patriarki. Pokoknya kalau cowok itu bakal lebih bener. Gitu deh intinya. Nah, melalui buku ini, Nh Dini banyak banget protes soal ajaran Jawa yang menurut dia terlalu berorientasi pada kepentingan lelaki. Enggak heran, Nh Dini juga sering disebut sebagai feminis, karena melalui karya-karyanya, dia menyampaikan argumennya kalau perempuan dipersiapkan menjadi istri yang baik, seharusnya bukan berarti dia jadi istri yang selalu tunduk dengan kata-kata dan perlakuan suami, meskipun sebenernya itu enggak sesuai. Harusnya, menurut Nh Dini, perempuan dan lelaki punya kedudukan yang sama untuk berpendapat dan juga merespon pendapat orang lain. Visioner sekali eyang yang satu ini.

  1. Tidak Ada Esok – Mochtar Lubis
Merupakan novel yang diterbitkan pada tahun 1950. Novel ini bercerita tentang perjuangan seorang tokoh bernama Johan, ketika masa penjajahan Jepang, masa kemerdekaan dan paska kemerdekaan. Johan bersama pasukan lainnya hendak mengepung para penjajah di sebuah hutan, tapi kemudian dia malah bertanya-tanya ke dirinya sendiri dan jadi galau sendiri. Iya, pas perang pun ternyata orang bisa galau. Tapi berkualitas pasti kalau galaunya pas perang. Johan galau karena ngeliat temen-temennya yang banyak meninggal jadi korban perang. Dia jadi mikir, kalau dua pihak enggak ada yang berhentiin perang, pasti akan lebih banyak orang yang meninggal sia-sia. Tapi akhirnya dia mengambil kesimpulan harus ada yang dikorbankan demi kemerdekaan negara. Berkualitas sekali galaunya Johan.


  1. Robohnya Surau Kami – A.A Navis
Wah ini sih judulnya sering banget keluar di ulangan Bahasa Indonesia. Tapi tau enggak, Robohnya Surau Kami ini adalah kumpulan 8 cerita pendek? Jarang yang tau kan? Nah, buku yang diproduksi taun 1955 ini emang kumpulan cerita pendek, salah satunya adalah cerpen yang Robohnya Surau Kami. Cerpen ini berkisah tentang kritik A.A Navis kepada orang-orang beragam terlalu ekstrem sampe lupa sama urusan dunia. Salah satu kalimat yang paling terkenal dari cerpen ini adalah: “apakah Saya gila akan pujian dan saya haus akan penyembahan”, sahut Tuhan. Wah, boleh nih kalimat ini disampaikan langsung ke FPI.

  1. Balada Orang-orang Tercinta – W.S Rendra
Buku ini berisi 19 kumpulan puisi yang ditulis oleh W.S Rendra dan dipublikasiin tahun 1957. Walaupun judul bukunya Ballada Orang-orang Tercinta, tapi nuansa puisi-puisinya gelap, kelam, banyak kesedihan dan kematian. Misalnya, ada satu puisi di buku itu yang judulnya Balada Ibu yang Dibunuh. Laah, Ibu yang Dibunuh kok jadi balada. Gimana ini. Menurut kami, puisi-puisi di buku ini mungkin memang menggambarkan suasana paska kemerdekaan yang masih kelam, meskipun ada senengnya juga karena akhirnya merdeka. Buat lebih jelasnya, kamu bisa cari tahu sendiri tentang buku ini.

Sastra di angkatan ini emang lebih fresh karena selama ini selalu didominasi oleh kaum pria tapi sekarang ada Nh. Dini. Di era ini, emang lagi jamannya orang-orang protes. Enggak heran, karya sastranya juga kental banget dengan protes mengenai kehidupan pada saat itu yang masih feodal dan masih ngebedain manusia dari gender dan status sosial serta ekonominya. Makanya, udah enggak jaman lagi masih deskriminasi orang cuma karena gender atau status sosial ekonominya.